UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari 2003 sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Keputusan itu diambil pada November 1999 dan tanggal itu pertama kali diperingati tahun 2000 di Markas UNESCO di Paris. Peristiwa ini penting dicatat karena beberapa alasan, antara lain sebagai berikut.
Pada tahun 1951 para pakar pendidikan dan bahasa UNESCO sebenarnya telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan karena tiga alasan. Secara psikologis bahasa itu sudah merupakan alat berpikir sejak anak lahir. Secara sosial bahasa ibu dipakai dalam komunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya. Secara edukasional, pembelajaran melalui bahasa ibu seyogianya mempermudah pemerolehan ilmu pengetahuan di sekolah dan proses pendidikan pada umumnya.
Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional sekarang ini berlangsung di tengah-tengah gencarnya semangat globalisasi. Dalam bidang ekonomi, kita mendapat tekanan internasional, mau tidak mau harus menyepakati kebijakan ekonomi melalui AFTA dengan segala konsekuensinya. Secara keliru, AFTA ini banyak ditafsirkan sebagai identik dengan absolutisme penguasaan bahasa Inggris dan diyakini akan menganaktirikan bahasa Indonesia, lebih-lebih bahasa daerah (BD).
Sejumlah Kekeliruan
ADA sejumlah kekeliruan yang perlu diluruskan. Pertama, pemisahan politik bahasa dari politik kebudayaan, padahal bahasa menjadi berharga karena “apa” yang diusungnya. Sebagai perbandingan, bahasa Arab mengusung (baca: identik dengan) agama Islam, bahasa Inggris mengusung (baca: identik dengan) teknologi. Ada asumsi bahwa orang Sunda kotemporer lebih nineung kepada kebudayaan Sunda daripada kepada bahasanya. Romantisme kultural ini sesungguhnya merupakan potensi psikologis untuk melakukan revitalisasi bahasa Sunda.
Kekeliruan kedua adalah mengartikan pelestraian BD sebagai penguasaan pengetahuan bahasanya termasuk undak-usuk yang melelahkan. Perlu disadari semua pihak bahwa yang terpenting adalah memfungsikan BD secara diglosik, yakni pemakaian secara bilingual, fungsional, dan kontekstual. Setiap bahasa (Sunda, Indonesia, dan asing) dalam kehidupan yang semakin kompleks ini memiliki karakteristik internal dan peran sosial masing-masing.
Tugas perencana bahasa adalah antara lain memberi deskripsi karakteristik dan peran-peran ini agar ketiganya berperan maksimal dalam kehidupan sehari-hari. Kekeliruan ketiga, sejarah politik kebudayaan nasional kita mewariskan asumsi bahwa BD akan menjadi pemicu disintegrasi bangsa sebagaimana dikhawatirkan dalam seminar politik bahasa tahun 1975. Kekhawatiran itu hanya mengada-ada saja. Bila sekarang ini ada gejolak politik kedaerahan, gejolak itu bukan karena sentimen BD, melainkan lebih karena politik kebudayaan nasional sentralistik selama ini yang notabene difasilitasi dengan bahasa nasional.
Paradigma Baru
DALAM teori produksi dan reproduksi kultural, literasi (melek huruf) dalam bahasa ibu atau BD ditasbihkan sebagai prasyarat bagi pembangunan setiap kampanye atau gerakan literasi sebagai cara untuk memberdayakan budaya dan kesejarahan suatu bangsa. Selama ini literasi masih dibatasi pada penguasaan bahasa Indonesia dan programnya ditafsirkan secara sempit dengan fokus pada keterampilan baca-tulis dalam bahasa itu.
Dalam pada itu peran literasi bahasa Arab seperti dinafikan begitu saja. Banyak orang tua di Indonesia yang buta huruf Latin, tetapi mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab. Huruf Arab Melayu telah berjasa sebagai medium dalam mendidik bangsa ini. Para orang tua berkomunikasi dalam BD dengan huruf tersebut. Sayangnya sistem pendidikan sekarang ini tidak lagi melihatnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, padahal di Malaysia aksara ini masih dilestarikan. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai huruf Arab Jawi.
Gambaran di atas mencerminkan sikap apriori dan tutup mata terhadap pengalaman kultural kelompok-kelompok etnis yang notabene menjadi objek kebijakan nasional ini. Di nusantara terdapat sekira 700 bahasa ibu yang dipastikan mengusung kebudayaan etnis. Dalam bahasa-bahasa itulah terpendam kearifan-kearifan lokal (local genius) yang memerlukan kajian kritis semua pihak.
Politik BD seyogianya dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan peristiwa-peristiwa historis dan eksistensialis dari budaya etnis demi terjadinya reproduksi kultural, yakni pemberdayaan pengalaman kolektif semua pihak atau stakeholders dari BD. Perlu diluruskan bahwa pemertahanan identitas kultur etnis tidak berarti penolakan akan kearifan lokal budaya etnis lain, apalagi budaya nasional.
Para seniman, wartawan, pendidik, sejarawan, politisi, pelaku bisnis, dan ahli bahasa memiliki kepentingan tersendiri terhadap BD, dan ini sah-sah saja. Reproduksi kultural BD adalah sinerji semua kepentingan itu. Sebagai perbandingan, bahasa Inggris sedemikian rupa bergengsinya hampir pada setiap aspek kehidupan: sosial, politik, teknologi, sastra, mitologi, dan lain sebagainya. Dan, semuanya itu menggunakan medium bahasa Inggris sehingga berkembanglah puspa ragam bahasa Inggris dalam genre-genre itu.
Perda Kebudayaan
Perlunya perda pemeliharaan Bahasa Ibu, sehingga diharapkan penggunaan Bahasa Ibu tidak hilang tinggal sebagai catatan sejarah saja. Dalam kajian kebudayaan secara makro, keluarnya perda itu sangat tepat bila dilihat sebagai alat untuk memelihara dan penciri adanya kebudayaan di suatu daerah.
Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh untuk merealisasikankan perda penggunaan Bahasa Ibu.
(Dari Berbagai Sumber)
Pada tahun 1951 para pakar pendidikan dan bahasa UNESCO sebenarnya telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan karena tiga alasan. Secara psikologis bahasa itu sudah merupakan alat berpikir sejak anak lahir. Secara sosial bahasa ibu dipakai dalam komunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya. Secara edukasional, pembelajaran melalui bahasa ibu seyogianya mempermudah pemerolehan ilmu pengetahuan di sekolah dan proses pendidikan pada umumnya.
Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional sekarang ini berlangsung di tengah-tengah gencarnya semangat globalisasi. Dalam bidang ekonomi, kita mendapat tekanan internasional, mau tidak mau harus menyepakati kebijakan ekonomi melalui AFTA dengan segala konsekuensinya. Secara keliru, AFTA ini banyak ditafsirkan sebagai identik dengan absolutisme penguasaan bahasa Inggris dan diyakini akan menganaktirikan bahasa Indonesia, lebih-lebih bahasa daerah (BD).
Sejumlah Kekeliruan
ADA sejumlah kekeliruan yang perlu diluruskan. Pertama, pemisahan politik bahasa dari politik kebudayaan, padahal bahasa menjadi berharga karena “apa” yang diusungnya. Sebagai perbandingan, bahasa Arab mengusung (baca: identik dengan) agama Islam, bahasa Inggris mengusung (baca: identik dengan) teknologi. Ada asumsi bahwa orang Sunda kotemporer lebih nineung kepada kebudayaan Sunda daripada kepada bahasanya. Romantisme kultural ini sesungguhnya merupakan potensi psikologis untuk melakukan revitalisasi bahasa Sunda.
Kekeliruan kedua adalah mengartikan pelestraian BD sebagai penguasaan pengetahuan bahasanya termasuk undak-usuk yang melelahkan. Perlu disadari semua pihak bahwa yang terpenting adalah memfungsikan BD secara diglosik, yakni pemakaian secara bilingual, fungsional, dan kontekstual. Setiap bahasa (Sunda, Indonesia, dan asing) dalam kehidupan yang semakin kompleks ini memiliki karakteristik internal dan peran sosial masing-masing.
Tugas perencana bahasa adalah antara lain memberi deskripsi karakteristik dan peran-peran ini agar ketiganya berperan maksimal dalam kehidupan sehari-hari. Kekeliruan ketiga, sejarah politik kebudayaan nasional kita mewariskan asumsi bahwa BD akan menjadi pemicu disintegrasi bangsa sebagaimana dikhawatirkan dalam seminar politik bahasa tahun 1975. Kekhawatiran itu hanya mengada-ada saja. Bila sekarang ini ada gejolak politik kedaerahan, gejolak itu bukan karena sentimen BD, melainkan lebih karena politik kebudayaan nasional sentralistik selama ini yang notabene difasilitasi dengan bahasa nasional.
Paradigma Baru
DALAM teori produksi dan reproduksi kultural, literasi (melek huruf) dalam bahasa ibu atau BD ditasbihkan sebagai prasyarat bagi pembangunan setiap kampanye atau gerakan literasi sebagai cara untuk memberdayakan budaya dan kesejarahan suatu bangsa. Selama ini literasi masih dibatasi pada penguasaan bahasa Indonesia dan programnya ditafsirkan secara sempit dengan fokus pada keterampilan baca-tulis dalam bahasa itu.
Dalam pada itu peran literasi bahasa Arab seperti dinafikan begitu saja. Banyak orang tua di Indonesia yang buta huruf Latin, tetapi mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab. Huruf Arab Melayu telah berjasa sebagai medium dalam mendidik bangsa ini. Para orang tua berkomunikasi dalam BD dengan huruf tersebut. Sayangnya sistem pendidikan sekarang ini tidak lagi melihatnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, padahal di Malaysia aksara ini masih dilestarikan. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai huruf Arab Jawi.
Gambaran di atas mencerminkan sikap apriori dan tutup mata terhadap pengalaman kultural kelompok-kelompok etnis yang notabene menjadi objek kebijakan nasional ini. Di nusantara terdapat sekira 700 bahasa ibu yang dipastikan mengusung kebudayaan etnis. Dalam bahasa-bahasa itulah terpendam kearifan-kearifan lokal (local genius) yang memerlukan kajian kritis semua pihak.
Politik BD seyogianya dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan peristiwa-peristiwa historis dan eksistensialis dari budaya etnis demi terjadinya reproduksi kultural, yakni pemberdayaan pengalaman kolektif semua pihak atau stakeholders dari BD. Perlu diluruskan bahwa pemertahanan identitas kultur etnis tidak berarti penolakan akan kearifan lokal budaya etnis lain, apalagi budaya nasional.
Para seniman, wartawan, pendidik, sejarawan, politisi, pelaku bisnis, dan ahli bahasa memiliki kepentingan tersendiri terhadap BD, dan ini sah-sah saja. Reproduksi kultural BD adalah sinerji semua kepentingan itu. Sebagai perbandingan, bahasa Inggris sedemikian rupa bergengsinya hampir pada setiap aspek kehidupan: sosial, politik, teknologi, sastra, mitologi, dan lain sebagainya. Dan, semuanya itu menggunakan medium bahasa Inggris sehingga berkembanglah puspa ragam bahasa Inggris dalam genre-genre itu.
Perda Kebudayaan
Perlunya perda pemeliharaan Bahasa Ibu, sehingga diharapkan penggunaan Bahasa Ibu tidak hilang tinggal sebagai catatan sejarah saja. Dalam kajian kebudayaan secara makro, keluarnya perda itu sangat tepat bila dilihat sebagai alat untuk memelihara dan penciri adanya kebudayaan di suatu daerah.
Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh untuk merealisasikankan perda penggunaan Bahasa Ibu.
(Dari Berbagai Sumber)