Ir. Usman Yasin, M.Si (Dosen Agroteknologi, Universitas Muhammadiyah Bengkulu) dan
Dra. Eni Khairani, M.Si (Anggota DPD RI/MPR RI)
Pendahuluan
Salah satu tujuan reforma agraria adalah untuk memperbaiki struktur ketimpangan lahan, mengembalikan tanah pada esensinya yakni sebagai alat produksi pertanian yang berdampak pada peningkatan produktifitas serta menaikkan taraf hidup petani.
Data Sensus Pertanian 2013 menyatakan sebaliknya, terungkap bahwa tiap menit, Indonesia kehilangan 0,25 hektar lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Jika 0,25 hektar lahan yang dikonversi itu dikelola oleh satu rumah tangga petani, maka akibat konversi lahan, setiap menit ada satu rumah tangga petani yang kehilangan sumber penghidupannya.
Jika dikaitkan dengan perhitungan gini rasio, maka penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,59, yang berarti hanya sekitar 1% penduduk menguasai 59% sumber daya agraria, tanah dan ruang.
Memang, Kementerian ATR/BPN sudah menancangkan empat program di bidang pertanahan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2016-2019. Ada empat tujuan yang ingin dicapai dengan reforma agraria.
1.
Meningkatkan
kepastian hukum hak atas tanah. Legalisasi
aset ini penting karena baru sekitar 45% tanah yang memiliki sertifikat.
Targetnya hingga tahun 2019, tercapainya kepastian hukum di atas 23,21 juta
hektar bidang tanah dengan menerbitkan 25 juta sertifikat dalam rangka
legalisasi asset.
2.
Meningkatkan
kepastian ketersediaan tanah bagi kepentingan umum, terutama untuk proyek-proyek
infrastruktur. Mulai dari pembangkit listrik 35.000 MW, jalan tol sepanjang
7.338 km, 24 bandar udara, jalur kereta api sepanjang 3.258 km, 24 pelabuhan
laut, 5 juta unit rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), 12
Kawasan Ekonomi Khusus, 15 Kawasan Industri, 78 unit stasiun Bahan Bakar Gas
(BBG), 2 kilang minyak, dan pembangunan 65 waduk.
3.
Peningkatan
pelayanan pertanahan dengan mengadakan program standarisasi terhadap juru ukur
bersertifikat yang akan bekerja di bawah pengawasan BPN untuk mempercepat
proses pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia.
4.
Memperbaiki
porsi kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Konsep Reforma
Agraria yang diusung adalah dengan melakukan legalisasi aset dan redistribusi
lahan atau disebut Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Di atas kertas, TORA dicanangkan seluas 9 juta hektar yang terdiri 4,5 juta hektar untuk legalisasi aset dan 4,5 juta untuk redistribusi lahan. Legalisasi aset terdiri dari 0,6 juta hektar tanah transmigrasi yang belum bersertifikat dan 3,9 juta hektar tanah untuk legalisasi aset masyarakat. Sedangkan untuk redistribusi lahan, terdiri dari 0,4 juta hektar tanah terlantar dan 4,1 juta hektar tanah pelepasan kawasan hutan.
Pakar hukum agraria, Suparjo Sujadi menyatakan, reforma agraria pada dasarnya bukan hanya sekedar bagi-bagi tanah semata. “UU Pokok Agraria lahir sebagai euphoria politik pada masa itu untuk menciptakan masyarakat sosialisme Indonesia. Konsep land reform di seluruh dunia itu adalah land to the farm, tanah untuk tani. Tetapi kelemahannya dibanding negara lain, tidak adanya insentif dari pemerintah bagi petani yang menyentuh ekonomi pertanian dan ekonomi kerakyatan secara riil.
Ketidakberhasilan land reform di Indonesia selama ini dipicu beberapa persoalan. Salah satunya karena laju produktifitas pertanian yang kalah jauh dengan laju percepatan pertumbuhan ekonomi maupun industri. Soparjo Supardi mengkhawatirkan, karena persoalan dasarnya tidak dipahami, akhirnya jadi adu cepat. Tatanan ideal sebagai cita-cita land reform dengan redistribusi lahan khususnya pada sektor pertanian akhirnya tidak tercapai. Program apapun pada akhirnya non-sense, jika konsep dasarnya tidak dipahami, akhirnya justru jadi clash program.”
Kritikan Wakil Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menyatakan, program reforma agraria dari pemerintahan ini mengulang kesalahan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. “Jadi seolah-olah permasalahan reforma agraria ini hanya sebatas legalisasi aset saja. Padahal proses sertifikasi aset itu merupakan kegiatan rutin dari BPN, sementara legalisasi aset dalam kerangka agenda reforma agraria itu dilakukan untuk memperbaiki ketimpangan yang terjadi.
Selain itu subjek dan objek yang dimaksud dalam TORA. Menurutnya, kedua hal tersebut tidak efektif dalam memperbaiki situasi ketimpangan dan menyelesaikan konflik agraria. Padahal, masalah agraria lebih luas dari hanya persoalan legalisasi aset semata.
“TORA itu tidak boleh top-down dimana pemerintah secara sektoral menentukan dengan kacamatanya masing-masing. Lalu dimana posisi masyarakat sipil terutama para petani gurem, land-less, dan korban dari konflik agraria, yang merupakan subjek dari reforma agraria. Seharusnya pemerintah melakukan identifikasi tanah-tanah yang menjadi objek reforma agrarian di lokasi konflik. BPN kan selama ini kejarannya jumlah target sertifikat dan luas bidang tanah, jadi tidak masalah jika tidak tepat subjek dan objeknya.
Ketimpangan Lahan Turun
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN Yuswanda A Temenggung mengatakan, ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan dapat diselesaikan dengan menginjeksi 9 juta hektar lahan sebagai objek reforma agraria. Sehingga, gini rasio yang menunjukkan angka ketimpangan lahan menjadi turun.
“Simulasinya dari posisi sekarang di 0,59 tetapi jika kita inject 3 juta hektar, itu menjadi sekitar 0,47. Terus kita inject hingga 9 juta hektar, itu bisa menjadi 0,32 atau 0,33. Jadi sudah sangat baik,” kata Yuswanda.
Menurut Suparjo Sujadi, semestinya berdasarkan logika percepatan legalisasi aset dilaksanakan setelah redistribusi lahan dalam program reforma agraria dilaksanakan. Berdasarkan logika yang runut, percepatan legalisasi aset seharusnya dilaksanakan setelah redistribusi lahan dalam kerangka reforma agraria telah dilaksanakan. Ketika struktur penguasaan lahan ditata ulang, sudah pasti akan terjadi legalisasi aset.
Hal serupa juga diutarakan Dewi Wakil Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Ia menilai, pernyataan Kementerian ATR/BPN tersebut secara praktik di lapangan juga sulit untuk direalisasikan. “Tidak bisa melihat ketimpangan lahan hanya menggunakan indeks rasio gini yang diklaim oleh pemerintah. Misalnya saja data Sensus Pertanian yang menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir terjadi indeks penurunan petani gurem. Pemerintah kemudian mengklaim dengan data ini bahwa jumlah petani miskin berkurang. Padahal berkurangnya petani gurem itu bukan karena naik kelas, tetapi karena terlemparnya mereka ke sektor non-pertanian. Data ini justru harus dibaca sebagai hilangnya akses petani gurem terhadap tanahnya, sehingga sudah tidak bisa lagi survive menjadi petani.
Reformasi Agraria di Bengkulu
Berdasarkan Berita yang dirilis di
berbagai Media, Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu mengusulkan seluas 26.917 hektare tanah sebagai objek
reforma agraria yang tersebar di 8 (delapan) wilayah kabupaten dan kota, kecuali
Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Kepahiang. Luas potensi wilayah TORA di Kabupaten
Mukomuko mencapai 3.752 hektare, Kabupaten Bengkulu Utara seluas (9.196), Kota
Bengkulu (306,07), luas potensi Kabupaten Seluma (3.605) dan Kabupaten Bengkulu
Selatan 770 hektare, Kabupaten Kaur seluas 1.793 hektare, Kabupaten
Rejanglebong (7.170) dan Kabupaten Lebong seluas 325 hektare.
Menurut BPN Bengkulu, salah satu sumber Tanah objek Reforma Agraria (TORA) adalah tanah terlantar. Menurut Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah negara akan menjadi salah satu objek reforma agraria.
Menurut BPN Bengkulu, salah satu sumber Tanah objek Reforma Agraria (TORA) adalah tanah terlantar. Menurut Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah negara akan menjadi salah satu objek reforma agraria.
Akan tetapi pada saat dialog yang selenggarakan oleh Walhi Bengkulu, beberapa waktu yang lalu, ketika dikonfirmasikan secara langsung dimana saja letak Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) tersebut? Ternyata Badan Pertanahan Provinsi Bengkulu, tidak bisa memberi jawaban secara pasti untuk merinci lokasi lahan yang jadi TORA, artinya BPN hanya memiliki angka-angka saja, sebagai laporan, tetapi tidak punya planninga lahan yang mana yang akan didistribusikan?
Konflik Agraria di Bengkulu
Konflik lahan di Bengkulu akan terus
terjadi jika pemerintah tidak segera merealiasikan reforma agraria yakni
reditribusi tanah kepada petani.
Saat ini di Provinsi Bengkulu yang lahan sudah dikuasai seluas 224.525 hektare oleh perkebunan besar dengan komoditas utama yakni karet dan kelapa sawit. Sedangkan penguasaan lahan tambang mencapai 299.767 hektare.
Sehingga lahan untuk kepentingan umum seperti perkantoran, jalan, permukiman dan pertanian masyarakat hanya seluas 530.254 hektare. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Provinsi Bengkulu yang saat ini sekitar 2 juta jiwa, maka setiap orang hanya dapat mengelola 0,2 hektare.
Reforma agraria, seharusnya adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber daya agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya.
Permasalahan Reformasi Agraria (RA)
- Dari kajian yang dilakukan masyarakat sipil Bengkulu, Lokasi-lokasi yang direncanakan pemerintah dalam kerangka RA bukanlah merupakan lokasi yang selama ini mengalami: konflik berkepanjangan, seperti lokasi Perkebunan PT. SIL dan lain-lain; ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan; serta kemiskinan rakyat akibat ketiadaan kontrol dan hak atas tanah. Kriteria TORA yang dibangun secara top-down tidak berkesuaian dengan prinsip dan tujuan pokok reforma agraria.
- BPN Bengkulu belum memiliki lokasi-lokasi yang ditunjuk sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Semestinya lokasi-lokasi TORA adalah Lokasi-lokasi yang selama ini mengalami konflik agraria dan tumpang tindih kewilayahan masyarakat dengan klaim kawasan hutan.
- Masalah penetapan TORA menggunakan UU Kehutanan. Akibatnya, dengan UU Kehutanan sebagai kiblat. Dengan demikian, tidak ada jalan untuk melakukan koreksi atas penguasaan hutan oleh PTPN dan perkebunan besar lainnya, yang telah banyak menimbulkan banyak konflik dan menyengsarakan petani.
- Kepentingan pembangunan perkebunan skala besar bersembunyi di dalam kriteria TORA kawasan hutan. TORA nyata-nyata masih jauh dari harapan rakyat.
- Wilayah perkebunan skala besar (termasuk milik BUMN/PTPN) yang selama ini bersengketa dan telah merampas tanah rakyat, perkebunan terlantar dan HGU bermasalah, belum menjadi wilayah prioritas reforma agraria ala pemerintah ini.
- TORA orientasi utamanya masih bersifat sektoral kehutanan dan pedesaan. Padahal tujuan RA mesti multi sektoral. Sehingga perlu dirancangkan juga penyelesaian ketimpangan struktural di wilayah pertambangan, pesisir, kelautan, pulau2 kecil dan masalah agraria perkoataan.
- Jelang empat tahun ini, yang dilakukan pemerintah masih sebatas lebih giat melakukan sertifikasi tanah (saja) yang tidak bermasalah. Hal ini bisa dilihat dari pemaknaan Reformasi Agraria masih dilakukan pada pensertifikatan tanah, bukan pada tanah yang dikuasi oleh perusahan besar, baik perkebunan maupun tambang.
0 comments:
Posting Komentar