Danau Dendam Tak Sudah

The Dam Yang tidak selesai, atau De Dam Tak Sudah, Danau Dendam Tak Sudah

60 sd 80% Sampah Rumah Tangga adalah Bahan Organik

Potensi masalah ketika tidak diolah, potensi pendapat keluarga ketika diolah, potensi nilai tambah ketika dilakukan Biokonversi Dikelola Secara Bijak

Urban Farming

Pemanfaat Lahan Masjid Jamik Al Huda sebagai terapi psikologis dan nilaitambah pendapatan keluarga

Urban Farming (Budidaya Lahan Sempat)

Memanfaatkan Lahan Sempit untuk menambah nilai manfaat lahan diperkotaan sekaligus sebagai eduwisata

Urban Farming Tanaman Hortikultura

Sayuran segar siap dikonsumsi kapan saja...

Senin, 28 April 2008

Kantong Semar (Tabung Beruk dalam Bahasa Lembak)


(Photo adalah Kantong Semar yang ditemui di Danau Dendam Tak Sudah)

Tanaman ini termasuk dalam Genus Nepenthes (Kantong semar, bahasa Inggris: Tropical pitcher plant), yang termasuk ke dalam familia monotypic, terdiri dari 80-100 spesies, baik yang alami maupun hibrida. Genus ini merupakan tumbuhan karnivora di kawasan tropis Dunia Lama, kini meliputi negara Indonesia (55 spesies, 85%), Tiongkok bagian selatan, Malaysia, Filipina, Madagaskar, Seychelles, Australia, Kaledonia Baru, India, dan Sri Lanka. Habitat dengan spesies terbanyak ialah di pulau Borneo dan Sumatra.

Tumbuhan ini dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan cara memanjat tanaman lainnya. Pada ujung daun terdapat sulur yang dapat termodifikasi membentuk kantong, yaitu alat perangkap yang digunakan untuk memakan mangsanya (misalnya serangga, pacet, anak kodok) yang masuk ke dalam.

Klasifikasi Ilmiah: Kingdom Plantae, Filum: Magnoliophyta, Kelas Magnoliosida, Ordo: Caryophyllales, Famili: Nepenthaceae, Spesies: - ; Nama Binomial: Linnaeus
(Sumber: Dari Wikipedia Indonesia).

Flora Yang Mesti di Lindungi

Bagi kalangan pencinta tanaman, jenis ini merupakan tanaman hias yang sedang naik daun. Kantong Semar adalah sebuah nama yang tidak asing, tetapi masih banyak orang yang belum melihat secara lansung. Tanaman ini adalah pemaksa daging atau lebih di kenal istilah ekologi adalah Tanaman Karnivora. Nepenthes, pertama dikenalkan oleh J.P Breyne. Nama Nephentes diambil dari sebuah nama gelas anggur. Di Indonesia, disebut sebagai kantong semar, dengan sebutan beragam di berbagai daerah, periuk monyet (Riau), kantong beruk (Jambi), ketakung (Bangka), sorok raja mantri (Jawa Barat). ketupat napu (Dayak Katingan), telep ujung (Dayak Bakumpai), selo begongong (Dayak Tunjung), dan Tabung Beruk (Bahasa Lembak).

Tumbuhan termasuk tumbuhan liana (merambat) ditanah ataupun di ranting-ranting pohon,berumah dua, serta bunga jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Hidup di tanah (terrestrial), ada juga yang menempel pada batang atau ranting pohon lain (epifit). Kantong Nepenthes merupakan perubahan bentuk dari ujung daun yang memiliki fungsi menjadi perangkap serangga atau binatang kecil lainnya. Karenanya tumbuhan ini digolongkan sebagai tanaman karnivora (carnivorous plant), selain Venus Flytrap (Dionaea muscipula), sundews (Droseraceae) dan beberapa jenis lainnya. Tanaman karnivora umumnya hidup pada tanah miskin hara, khususnya nitrogen, seperti kawasan kerangas.

Nepenthes termasuk dalam famili Nepenthaceae dan kelas Magnoliopsida pada umumnya tumbuh pada hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan kerangas, gunung kapur, padang savanna dan tepi danau. Nepenthes tersebar mulai dari Australia bagian utara, Asia Tenggara, hingga Cina bagian selatan. Terdapat sekitar 82 jenis nepenthes di dunia dan 64 jenisnya berada di Indonesia Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah, dan Brunei) merupakan pusat penyebaran nepenthes di dunia. Sesuai dengan ketinggian tempat hidupnya, Nepenthes dibagi menjadi tiga golongan, yaitu yang hidup pada dataran rendah (0-500 mdpl (meter dari permukaan laut)), dataran menengah (500-1.000 mdpl) dan dataran tinggi (di atas 1.000 mdpl). Untuk di dataran rendah meliputi jenis N. gracilis, N. mirabilis, N. reinwardtiana, dan N. raflesiana, N. adnata, N. clipeata, N. mapuluensis merupakan jenis yang dapat hidup di dataran menengah. Sedangkan yang dapat tumbuh baik di dataran tinggi meliputi N. diatas, N. densiflora, N. dubia, N. ephippiata dan N. eymae. Perbanyakan tanaman Nepenthes dilakukan melalui stek batang, biji dan memisahkan anakan. Umumnya Nepenthes yang hidup terrestrial di dataran rendah tumbuh di tempat-tempat yang berair atau dekat sumber air pada substrat yang bersifat asam. Nepenthes juga membutuhkan cahaya matahari intensif dengan panjang siang hari antara 10-12 jam setiap hari sepanjang tahun, dengan suhu udara antara 23-31°C dan kelembaban udara antara 50-70%.
Manfaat Kantong Semar

Selain semangat tanaman hias Kantong Semar juga memiliki fungsi yang tidak kalah penting, diantaranya :

1.Sebagai Indikator Iklim
Jika pada suatu kawasan atau areal di tumbuhi oleh Nepenthes gymnamphora, berarti kawsan tersebut tingkat curah hujannya cukup tinggi, kelembaban diatas 75 %, tanahnya pun miskin unsur hara

2.Tumbuhan Obat
Cairan dari kantong yang masih tertutup, digunakan sebagai obat batuk.

3.Sumber air minum bagi Petualang
Bagi para pendaki gunung yang kehausan kantong semar jenis N. gymnamphora merupakan sumber air yang layak minum karena pH-nya netral (6-7), tetapi kantong yang masih tertutup, karena kantong yang terbuka sudah terkontaminasi dengan jasad serangga yang masuk kedalam, pH-nya 3 dan rasanya masam.

4.Sebagai Pengganti tali
Batang dari Kantong Semar ini bisa di gunakan sebagai pengganti tali untuk pengikat barang.

5. Sabagai tanaman hias
Sejak beberapa waktu yang lalu, kantong semar mulai diperkenal sebagai tanaman hias yang mempunyai daya tarik tersendiri, bahkan orang rela berburu sampai kepuncak-puncak gunung untuk mendapatkan kantong semar ini.

Ancaman Si Kantong Semar

Semua jenis Nepenthes adalah dilindungi, akan tetapi keberadaannya sekarang ini sudah semakin sedikit. Habitatnya yang semakin sempit baik itu di karenakan aktifitas manusia secara lansung maupun maupun tidak lansung. Ancaman terhadap si Kantong Semar disebabkan oleh beberapa kemungkinan: (1) Pembukaan Kawasan Tambang, (2) Pembukaan Kawasan Untuk Tambak, (3) perambahan kawasan pertumbuhannya untuk kepentingan lahan pertanian dan perkebunan, dan (4) Eksploitasi jenis untuk di komersilkan

Pesona nephentes kini kian melejit. Banyak penggemar tanaman mulai mengoleksi beragam jenisnya. Keunikan sosok dan sifat menjadi daya tarik utama. Misalnya, kemampuan tanaman memangsa serangga. Meski umum ditemukan di dataran tinggi, tetapi beberapa mampu beradaptasi di dataran rendah. Sayang, merawat agar kantongnya banyak dan memperbanyak nephentes tidaklahlah mudah. Butuh penanganan dan perawatan yang tepat agar tampil prima. Bila tak piawai merawat, biarkan keindahan kantong semar itu berada di habitatnya agar si pemangsa tetap jadi penguasa pegunungan.

Sumber : http://170008.blog.com/Pesona+si+Kantong+Semar/


Kantong Semar Cagar Alam Danau Dusun Besar

Dari penelusuran dan inventarisasi jenis flora yang pernah di lakukan oleh Yayasan Lembak Bengkulu di Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar atau Danau Dendam Tak Sudah, kami menemukan keunikan tersendiri. Walaupun dikatakan tanaman ini memiliki pertumbuhan hingga mencapai tinggi 20 m, tetapi kami menemukan tanaman ini mencapai ketinggian 10 m. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman ini mampu memanfaatkan tinggi tanaman sebagai tempat untuk tumbuh dan tetap survive. Tim Yayasan Lembak harus memanjat pohon untuk melakukan pengukuran.

Sebenarnya ada kekhawatiran bagi kami untuk mengekspos tanaman Kantong Semar (Tabung Beruk dalam Bahasa Lembak) yang kami temui ini. Kami khawatir nantinya menjadi informasi bagi pemburu kantong semar.

Saat ini kantong semar yang ditemui di Danau Dendam Tak Sudah ini sudah berhasil dibudidayakan, bahkan ada diantara Warga Kelurahan Panorama Bengkulu sudah memasarkannya dengan harga Rp. 50.000 – Rp. 100.000 per polybag/pot.

Di Sarikan dari berbagai sumber

Jumat, 25 April 2008

Galery

Potensi Wisata Bengkulu



Cagar Alam Danau Dendam Tak Sudah Provinsi Bengkulu


Galery Adat Istiadat Suku Lembak Bengkulu

Galery Benteng Marlborough Bengkulu

TENTANG RENCANA PEMBONGKARAN TUGU THOMAS PARR


Sejarah Tugu Thomas Parr

Thomas Parr adalah Residen Inggris yang bertugas di Bengkulu pada tahun 1705-1707, yang merupakan penguasa Inggris ke-51. Thomas Parr sampai di Bengkulu tanggal 27 September 1805 menggantikan Walter Ewer.

Thomas Parr dikenal sebagai penguasa Inggris yang angkuh dan ganas. Dia adalah orang pertama yang memperkenalkan tanaman kopi dengan sistem tanaman paksa di Bengkulu. Kekejaman dan keangkuhan Thomas Parr tak saja dirasakan oleh penduduk pribumi tapi juga oleh orang-orang Bugis yang bekerja pada kompeni Inggris, bahkan juga dirasakan oleh pejabat Inggris lainnya. Parr juga dianggap terlalu jauh melangkah mencampuri urusan kepemimpinan tradisional dan adat masyarakat Bengkulu- seperti membuat pertentangan antara rakyat dengan Pangeran Sungai Itam serta peradilan.

Menurut Abdullah Siddik (1996) dalam bukunya Sejarah Bengkulu, dinyatakan bahwa akibat kejejaman Thomas Parr serta pelecehannya terhadap adat istiadat masyarakat disekitar Kota Bengkulu pada waktu itu, maka pada malam tanggal 27 Desember 1807 rakyat Bengkulu (mayoritas Suku Lembak) dari Dusun Besar, Sukarami dan lainnya; Pagar Dewa dan Lagan (Marga Proatin XII) di bawah pimpinan Depati Sukarami, Depati Pagar Dewa, Depati Lagan dan Depati Dusun Besar Menuju Mount Felix (Gedung Daerah saat ini) untuk membunuh Residen Parr yang bertindak di luar prikemanusiaan. Rombongan rakyat yang berkekuatan sekitar 300 orang mengepung tempat istirahat Residen Parr. Dengan melumpuhkan para pengawal, setelah itu tiga orang pemimpin rakyat masuk ke kamar tidur Residen Parr. Asisten Residen, yaitu Charless Murray, yang secara berani melindungi atasannya tidak dibunuh oleh ketiga pemimpin rakyat; dalam perkelahian Murray hanya terluka dan ia dapat disingkirkan. Istri Parr yang menjadikan dirinya sebagai perisai juga tidak dibunuh. Ia hanya terluka dan dapat disingkirkan. Kemudian barulah ketiga pemimpin rakyat itu membunuh Thomas Parr di kamar tidurnya, kepalanya dipenggal. Kemudian pepimpin rakyat pergi tanpa mengusik istri dan anak Parr.

Sungguh terpuji tindakan pemimpin rakyat tersebut, karena mereka berpendirian bahwa Thomas Parr lah yang harus menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya sendiri yang telah menyiksa, menindas, menghina dan merendahkan martabat manusia di daerah Bengkulu. Pembunuhan tersebut sebagai gambaran bahwa masyarakat Bengkulu yang keras, merdeka dan tahu harga diri, dan menjunjung tinggi adat dan hukum adat untuk memberantas kezaliman. Maka itu, tebusan dari tindakan biadab residen Parr adalah dengan pemenggalan kepalanya. Hal ini juga sebagai peringatan terhadap Inggris dalam melakukan penjajahan di Bengkulu.

Mayat Parr dikubur di sudut kepala kura-kura dalam Benteng Marlborough. Namun, untuk memperingati peristiwa tersebut, setahun kemudia (1808) Inggris mendirikan Menumen Parr yang terleyak 100 meter dari benteng, yang dikenal oleh masyarak Bengkulu saat ini adalah Kuburan Bulek atau Tugu Thomas Parr.

Reaksi Inggris terhadap peristiwa Parr sungguh menyedihkan serta jauh dari peradaban dan prikemanusiaan. Pemerintah dari Fort Marlborough menunjukkan kekuatannya dengan bertindak langsung mengerahkan tentara melakukan pembalasan secara keji dan membabi buta, yaitu banyak rakyat dibunuh dengan kejam tanpa pemeriksaan terlebih dahulu tentang kesalahannya; ada yang diikat di depan laras meriam besar, kemudian ditembakkan ke arah laut. Pertanian dan peternakan dimusnahkan dan dusun-dusun di sekitar Sukarami, Dusun Besar di bakar habis, seakan-akan mau menjamin keamanan dengan menciptakan padang pasir disekelilingnya. Pada persitiwa ini sekitar 760 orang masyarakat Bengkulu terbunuh. Diperkirakan masyarakat Dusun Besar menderita kerugian lebih dari 3000 dollar spanyol, berupa rumah tradisional dari kayu papan yang bermutu tinggi, pohon buah-buahan, dan hewan-hewan ternak. Depati Dusun Sukarami dan beberapa kepala dusun yang dicurigai ditembak mati (Emily Hann, dalam bukunya Raffless of Singapore, 1968).

Rencana Pembongkaran

Rencana pembongkaran Tugu Thomas Parr atau lebih dikenal Tugu Bulek berusia 2 abad itu oleh Dinas PU Provinsi untuk pengembangan proyek terowongan sangat dengan alasan pengembangan pariwisata sangat disayangkan oleh Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia Cabang Bengkulu Agus Setianto MHum. Menurut lelaki yang menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Provinsi itu, jika pembongkaran jadi dilakukan hal itu jelas melanggar UU No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

Negara kita punya UU yang melindungi aset sejarah dan cagar budaya. Kalau pembongkaran itu tetap dilaksanakan, berarti Dinas PU Provinsi telah melanggar hukum, maka berdasarkan berdasarkan UU No 5 Tahun 1992 Bab IV Pasal 15 Ayat 1 menyatakan setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya situs serta lingkungannya. Dan dipasal VIII pasal 26 menjelaskan barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah dan atau warna, memugar atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dipasal 15 dipidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.

Semestinya Tugu Thomas Parr justru harus dirawat karena dia adalah benda cagar budaya yang justru menjadi aset wisata bagi Provinsi Bengkulu. Bahkan Tugu tersebut sudah menjadi salah satu icon Kota Bengkulu. Tugu itu sangat berkaitan erat dengan sejarah perjuangan masyarakat Bengkulu sehingga rencan pembokaran adalah tindakan kontra produktif terhadap rencana pemerintah Provinsi bengkulu untuk membangun dan mengembangkan pariwisata.

Diharapkan Dinas PU harus mencermati segala sesuatu mengenai rancangan pembangunan yang akan dilakukan. Sebenarnya akan lebih baik jika Pemprov bisa mengemas aset wisata yang telah ada agar bisa menarik wisatawan. Bukan malah membuat bangunan baru. Kalau semua benda kuno disingkirkan, bagaimana dengan aset sejarah di negara ini?

Bagi masyarakat Bengkulu, tugu tersebut ditafsirkan sebagai penghargaan bagi para pejuang yang tak dikenal yang gugur dalam mempertahankan hak-haknya atas kekejaman Thomas Parr. Tugu ini menjadi tonggak sejarah yang mengandung nilai historis

Sikap Yayasan Lembak

Menilik dari sejarah perjuangan masyarakat Bengkulu, khususnya pengorbanan dan korban yang hampir mendekati angka seribu orang itu yang sebagian besar adalah masyarkat Lembak, maka pembongkaran tugu tersebut merupakan penghianatan pemerintah Provinsi Bengkulu terhadap perjuangan masyarakat Bengkulu, apalagi semua benda cagar budaya dilindungi oleh UU, maka Yayasan Lembak mengajak masyarakat Bengkulu khususnya dan masyarakat Indonesia untuk menentang pembongkaran tugu peringatan tersebut.

Semua saran dan opini anda dapat anda kirim ke emali Yayasan Lembak usmanyasin@plasa.com, semua saran dan pendapat anda akan kami sampaikan langsung kepada pemerintah Provinsi Bengkulu.

Untuk itu kami juga mebuka polling atas rencana pembongkaran tugu Thomas Parr tersebut, kami berharap anda ikut meberikan opini dan solusinya.

Jumat, 15 Februari 2008

Konflik Pilkada

Pesan Untuk Calon Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota

Oleh:
Usman Yassin, Ir. M.S (Lektor Kepala pada Universitas Muhammadiyah
Bengkulu;Ketua Yayasan Lembak)

LATAR BELAKANG

Dinamika demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari beberapa indikator keberhasilan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung. Hal ini menggambarkan adanya loncatan besar dalam kehidupan demokrasi. Perkembangaan terakhir yaitu pemilihan langsung pilkada sejak Juni 2005. Tidak dipungkiri masih banyak masalah, namun tidak menafikan perkembangan demokrasi saat ini dan ada harapan lebih baik di masa datang.

Keberhasilan pemilu tidak lepas dari organisasi penyelenggaranya. Pelaksanaan pemilu secara langsung membutuhkan sebuah organisasi yang profesional, kredibel dan akuntabel. Jika tidak dilakukan secara profesional, maka akan sulit terwujud sebuah fair election.

Dengan disyahkanya UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang merupakan penyempurnaan dari aturan terdahulu sehingga ada UU tersendiri yang lebih komprehensif, maka pemilu memiliki harapan lebih baik. Secara substantif pemilu di Indonesia sudah mengarah pada proses demokrasi yang lebih berkualitas, tetapi banyaknya kepentingan dan celah dalam peraturan perundangan, masih ada keberpihakan penyelenggara pemilu bahkan keputusan pihak pengadilan yang kadang dirasa tidak adil, kondisi ini masih berpotensi menimbulkan konflik.
Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pemilu terutama pilkada, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mereduksi konflik dengan melakukan pengkajian, identifikasi, analisis dan solusi pemecahannya sedini mungkin.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa kendala dalam penyelenggaraan pemilu terutama sebagai solusi untuk mencegah terjadinya konflik dalam pelaksanaan pemilu, terutama dalam pilkada secara langsung.

PENYELENGGARA PEMILU

Pemilu secara langsung adalah wujud kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan demokratis. Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud jika dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Dalam Undang-Undang No 22/2007 diatur mengenai penyelenggara pemilu oleh KPU, yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meski dibatasi masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam pemilu, bebas dari pengaruh pihak manapun.

KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara pemilu yang permanen dalam menjalankan tugas bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPU memberikan laporan pada DPR dan Presiden. UU No. 22/2007 juga mengatur pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara pemilu yang bersifat ad hoc.

Dalam pemilu, diperlukan pengawasan untuk menjamin agar pemilu benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilu dan peraturan perundang-undangan. Untuk mengawasi KPU, UU No 22/2007 mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, dan Panwaslu Luar Negeri. Pembentukan Panwaslu tidak dimaksudkan mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Adanya KPU yang profesional membutuhkan Sekjen di tingkat pusat dan sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota di daerah sebagai lembaga pendukung yang profesional dengan tugas utama membantu teknis administratif, termasuk pengelolaan anggaran. Untuk membantu lancarnya tugas-tugas KPU, juga dapat diangkat tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan dan berada di bawah koordinasi Sekjen KPU.

Untuk mewujudkan KPU dan Bawaslu yang punya integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik dapat diterapkan, maka dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.

Untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilu, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 juga mengamanatkan agar Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan oleh KPU dan Bawaslu.

PERMASALAHAN

Dari pengalaman pemilu, baik pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wapres, ditambah pilkada, teridentifikasi banyak timbul permasalahan yang berpotensi konflik. Konflik yang paling tajam justru terjadi pada pilkada.

Munculnya konflik saat pilkada memang sudah diprediksi sebelumnya. Rentang daerah pemilihan yang pendek dan terbatas memungkinkan lebih mudahnya terjadi akumulasi perbedaan yang berujung pada intensitas konflik tajam. Di dalam pilkada, jarak antara pasangan calon dengan pendukungnya sangat dekat. Demikian juga jarak antara pendukung satu dengan lainnya. Konsekuensinya, emosi mereka menjadi lebih kuat dan karenanya lebih sulit dikendalikan manakala masing-masing berusaha memaksakan diri sebagai pemenang.

Selain itu, UU yang mengatur pilkada langsung juga memiliki cela bagi lahirnya konflik politik yang menjurus ke arah kekerasan. Misalnya, pintu pencalonan di dalam pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan dari partai politik (alternatif calon independen masih menunggu amandemen terbatas UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah). Aturan demikian hanya memungkinkan tokoh-tokoh yang dekat dengan partai politik saja yang bisa menjadi calon. Padahal, di banyak daerah ditemui tokoh-tokoh lokal yang popular dan dipandang memiliki kualifikasi cukup baik tetapi tidak berafiliasi kepada partai tertentu.

Jika dilihat dari sisi pendekatan kelembagaan semata, aturan seperti itu memang tidak bermasalah dan memiliki argumen yang kuat. Partai politik, di dalam pendekatan demikian, dipandang sebagai instrumen dari masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan dari para konstituennya. Masalahnya, akhir-akhir ini, tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik mengalami degradasi, dan dipandang tidak cukup refresentatif berbuat untuk rakyat, malah melakukan manipulasi. Partai politik, dalam situasi demikian, tidak bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya lembaga yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat.
Di sisi lain, dalam melakukan penyaringan terhadap pasangan calon yang akan diajukan, partai politik tidak jarang melakukannya secara tidak transparan. Partai politik di dalam situasi demikian, lalu tidak bisa menjalankan peran sebagaimana dikehendaki para konstituennya.

Di dalam Pilkada, partai politik yang seharusnya berperan, acapkali dalam menetapkan pasangan calon kadang tidak berbanding lurus dengan kehendak para konstituennya. Dalam beberapa kasus, yang dicalonkan oleh partai bukan saja tokoh yang selama ini dekat partai, melainkan orang-orang yang membangun patronase dengan imbalan materi kepada pucuk-pucuk pimpinan partai. Di sini, mekanisme tidak jalan. Implikasinya, pasangan calon yang diajukan partai politik tidak selalu selaras dengan keinginan konstituen. Munculnya demonstrasi di sejumlah daerah yang menolak pasangan calon dari partai tertentu merupakan refpleksi dari realitas ini.

Adanya otoritas partai politik yang besar di dalam memutuskan pasangan calon sebagai salah satu potensi yang menyulut konflik, akan lebih tajam manakala di dalam partai politik itu juga terdapat konflik internal berkepanjangan. Di dalam menghadapi masalah seperti ini yang menjadi rujukan adalah kepengurusan partai yang sudah terdaftar di KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota. Hanya saja, masalahnya konflik internal partai di daerah acapkali berkaitan dengan konflik internal di DPP.

Kadang, pengelola partai yang terlibat di dalam konflik itu, dalam banyak kasus, sama-sama memiliki relasi kuat dengan akar rumput. Di dalam kondisi demikian, masing-masing elite politik yang berkonflik berusaha menggeret massa pendukungnya, sebagai upaya show of forces bahwa mereka memiliki pendukung yang kuat. Implikasinya, konflik menjadi lebih terbuka lalu lebih sulit dihindarkan, karena sama-sama memperalat massa akar rumput yang tidak kecil. Dalam hal ini para elit justru menjadi penstimulasi konflik.

Di samping itu, kondisi masyarakat Indonesia, termasuk di daerah yang majemuk, baik secara vertikal maupun horisontal. Sejarah mencatat bahwa konflik-konflik sosial dan politik yang pernah terjadi, tidak lepas dari kemajemukan seperti ini.
Undang-undang nomor 22/ 2007 tentang penyelenggara pemilu telah berusaha mereduksi semua kelemahan yang terdapat pada pelaksanaan pemilu, akan tetapi potensi konflik-konflik masih tetap muncul. Hal ni menggambarkan betapa sesungguhnya peluang konflik masih saja akan terjadi, untuk itu independensi, kompetensi, integritas, dan profesionalisme penyelenggara pemilu menjadi kunci utama berhasilnya pelaksanaan pemilihan umum secara demokratis.

PEMBAHASAN

Berangkat dari realitas diatas paling tidak terdapat lima sumber potensial yang dapat memicu konflik di dalam Pilkada. Pertama adalah konflik yang bersumber dari mobilisasi atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik bersumber dari black campaign antar pasangan calon. Ketiga, konflik bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik bersumber pada manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil Pilkada. Terakhir adalah konflik bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada.

Secara politik, munculnya konflik memang wajar saja terjadi. Di setiap usaha memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tidak lepas dari konflik. Adanya pilkada secara langsung merupakan mekanisme untuk mengelola konflik agar tidak menjurus kepada aksi kekerasan. Karena itu, masih menguatnya intensitas konflik yang disertai aksi kekerasan, memperlihatkan masih belum kuatnya kelembagaan di dalam penyelenggaraan pemilu secara langsung. Terdapatnya konflik yang menjurus pada munculnya aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari adanya budaya politik masyarakat yang masih bernuansa konfliktual daripada integratif. Dalam situasi seperti ini, intensitas perilaku konflik itu cenderung meningkat bukan semata-mata karena aspek kelembagaan, melainkan karena pilihan-pilihan yang berbeda. Manakala pilihan itu didasarkan pada kutub ‘kita’ dan ‘mereka’, dan disertai ketidakpercayaan kepada lembaga-lembaga penengah, benturan-benturan antara kelompok tidak bisa lagi dielakkan. Hanya saja, arus massa yang mengarah pada aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari elite politik yang memiliki kepentingan langsung di dalam Pilkada. Di Kabupaten Kaur, misalnya, munculnya aksi kekerasan itu tidak lepas dari sikap yang tidak mau menerima kekalahan serta ketidakkepercayaan pada lembaga penengah (termasuk di dalamnya adalah MA atau PT) dari pasangan calon.

Sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilaksanakan pilkada di 285 dari 440 kabupaten/kota dan di 15 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari identifikasi empiris penyelenggaraan pilkada, pemerintah menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi penyebab konflik pilkada, yaitu: (1) tidak akuratnya data pemilih, (2) persyaratan administratif pasangan calon yang tidak lengkap, (3) permasalahan internal parpol terhadap penetapan pasangan calon, (4) adanya kecenderungan KPU daerah tertentu tidak independen, tidak transparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon, (5) adanya dugaan money politic, (6) pelanggaran terhadap rambu-rampu penyelenggaraan Pilkada, dan (7) penghitungan suara yang tidak akurat. Ketujuh hal ini perlu diantisipasi agar pilkada mampu menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis. Terakhir pada kasus Sulawesi Selatan putusan lembaga peradilan juga berpotensi menyebab timbulnya konflik.

Salah satu penyebab konflik politik dapat berkembang menjadi anarkis adalah jabatan kepala daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah tersebut menjanjikan keuntungan ekonomi dan politik yang besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi birokrasi selama ini dipandang sebagai tempat amat strategis bagi para kepala daerah untuk membangun konsesi ekonomi-politik dan praktik-praktik KKN bernilai uang cukup besar bagi para aparatus daerah. Maka, tidak mengherankan apabila momentum pilkada disambut antusias para politisi, dengan para donatur di belakangnya yang berani mempertaruhkan jumlah uang cukup besar untuk memenangi ajang pilkada. Ketika tidak terpilih, tidak mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang menyulut konflik.

Antisipasi terhadap konflik pilkada juga harus memerhatikan reformasi birokrasi sebagai salah satu langkah secara gradual dalam pengelolaan konflik. Jika mekanisme hukum ditegakkan dan penindakan terhadap kasus-kasus KKN dilakukan untuk melaksanakan good governance, secara perlahan ajang pilkada tidak lagi diperebutkan sebagai sarana mendapatkan keuntungan materi dan politik bagi para aktornya, namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterakan rakyat. Maka, hanya kalangan yang berkomitmen tinggi yang akan memasuki arena pilkada. Sementara kekalahan yang dialami, karena tidak menyertakan jumlah materi yang besar, tidak akan menghasilkan konflik berkepanjangan.

Antisipasi terhadap konflik yang destruktif dalam pilkada harus mempertimbangkan faktor penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa kepercayaan antara warga dan elemen-elemen masyarakat sebagai salah satu dimensi pengelolaan konflik. Pada konteks ini, tersedianya modal sosial kultural berupa kepercayaan dari setiap warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna untuk mentransformasikan konflik politik.
Kemampuan elemen masyarakat membuka saluran-saluran komunikasi untuk melihat setiap persoalan yang muncul berguna untuk mengatalisasi konflik. Ketika persoalan muncul, pertimbangan rasional dan jernih berbasis social trust akan mereduksi cara-cara kekerasan. Social trust antara warga dan keterbukaan ruang publik akan membuat warga semakin peka terhadap lingkungan sosial maupun provokasi dari luar atau elite yang akan mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.

Ketika pengelolaan konflik telah dipertimbangkan matang dengan melibatkan komunikasi antara elemen masyarakat sipil, politisi, pemerintahan, dan pelaku ekonomi, perhelatan pilkada akan berlangsung dengan damai dan dinamis tanpa mengorbankan stabilitas politik di daerah.

Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan adil kepada para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas yang paling sederhana pun tidak hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi juga akan menimbulkan persepsi publik tentang kompetensi dan ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.

Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan pemilu harus memperhatikan hal berikut: Pertama, adanya kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan menyebabkan persepsi publik akan bias atau dugaan adanya intervensi akan berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas lembaga yang berwenang, tetapi juga pada keseluruhan proses pemilu.

Kedua, Efisiensi. Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kredibilitas proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan contoh-contoh ketidakmampuan, sulit bagi lembaga pemilu untuk mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi efisiensi, misalnya staf yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang terpenting adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pemilu.

Ketiga, Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengatur proses tersebut.

Keempat, Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada. Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional sehingga setiap anggota KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam memproses dan menengahi keluhan atas pelaksanaan pemilu, seperti dugaan kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau dalam regulasi yang bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat pada umumnya berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti dengan cepat dan efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.

Kelima, Transparansi. Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPU, Panwaslu, Partai Politik, pemerintah maupun masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari struktur dan proses pemilu. Dalam hal ini, komunikasi dan kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan bersama.

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang dilakukan diatas menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan memang menjadi sebuah kebutuhan mendasar sebagai acuan dan regulasi penyelenggara pemilu (KPU) melakukan tugas-tugasnya untuk mengawal suara rakyat agar sesuai dengan tujuan pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Hal ini sangat diperlukan karena sebagai salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat. Tanpa organisasi penyelenggara pemilu yang independen, kredibel, Akuntabel dan profesional menjadi mustahil untuk mencapai cita-cita demokrasi mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, tetapi malah memicu terjadinya konflik.

Yayasan Lembak

Yayasan Lembak adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang dibangun atas dasar keinginan memperjuangkan Hak-hak adat masyarakat Lembak, karena ranah perjuangan yang bersentuhan dengan kasus-kasus lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang pada akhirnya persoalan kebijakan maka akhirnya Yayasan Lembak juga konsen pada persoalan semua nasib kaum tertindas dan dimarginalkan. Persoalan yang muncul yang dialami masyarakat ini juga disebabkan kasus-kasus Korupsi anggaran APBD dan APBN, akhirnya Yayasan Lembak juga berada pada garda depan melakukan perlawan terhadap kasus-kasus Korupsi, sebuah Gerakan yang pernah digagas oleh pendiri sekalgus ketua Yayasan Lembak, yaitu dengan Gagasan Gerakan 1.000.000 Facebookers dukung Bitchan, yang menjadi trent topik dimedia massa dan dunia maya. Ayo dukung terus berlanjut aktivitas perjalanan Yayasan Lembak Bengkulu. Semoga informasi ini bermanfaat untuk kita semua, Terimakasih.

Saran - Pendapat - Pesan

Nama

Email *

Pesan *